:
Kebudayaan Nanggroe Aceh Darussalam
(Sumber: id.m.wikipedia.org)
1. Rumah AdatRumah adat Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat Aceh dibuat dari kayu meranti dan berbentuk panggung. Mempunyai 3 serambi yaitu Seuramoe Keu (serambi depan), Seuramoe Inong (serambi tengah) dan Seuramoe Likot (serambi belakang). Selain itu ada pula rumah adat berupa lumbung padi yang dinamakan Krong Pade atau Berandang.
2. Pakaian Adat
Pakaian adat yang dikenakan pria Aceh adalah baju jas dengan leher tertutup (jas tutup), celana panjang yang disebut cekak musang dan kain sarung yang disebut pendua. Kopiah yang dipakainnya disebut makutup dan sebilah rencong terselip di depan perut.
Wanitanya memakai baju sampai kepinggul, celana panjang cekak musang serta kain sarung sampai lutut. Perhiasan yang dipakai berupa kalung yang disebut kula, pending atau ikat pinggang, gelang tangan dan gelang kaki. Pakaian ini dipergunakan untuk keperluan upacara pernikahan.
Tari-tarian Aceh
a. Tari Seudati, berasal dari arab dengan latar belakang agama islam. Sebuah tarian dinamis penuh keseimbangan dengan suasana keagamaan. Tarian ini sangat disenangi dan terkenal di Aceh.
b. Tarian Saman Meuseukat, dilakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan ajaran kebajikan, terutama ajaran agama islam.
c. Tarian Pukat, adalah tarian yang melambangkan kehidupan para nelayan dari pembuatan pukat hingga mencari ikan.
d. Tari Rebana, merupakan tari kreasi yang menekankan pada keterampilan memainkan alat musik "rebana" dalam mengiringi gerak-gerak lincah khas Aceh. Tari ini biasa ditampilkan dihadapan tamu-tamu agung.
(Tari Saman, salah satu tarian Aceh)
4. Senjata Tradisional
Senjata tradisional yang dipakai oleh penduduk Aceh adalah rencong. Wilahan rencong terbuat dari besi dan biasanya bertuliskan ayat-ayat Al Quran. Selain rencong, rakyat Aceh mempergunakan pula pedang dengan nama pedang daun tebu, pedang oom ngom dan reudeuh. Pedang daun tebu dipakai oleh pamglima perang dan reudeuh oleh para prajurit.
5. Suku
Suku dan marga yang terdapat di Aceh antara lain : Aceh, Alas, Tamiang, Gayo, Ulu Singkil, Simelu, Jamee, Kluet, dan lain-lain.
6. Bahasa Daerah : Aceh, Alas, Gayo, dan lain-lain.
7. Lagu Daerah : Bungong Jeumpa, Piso Surit.
MAKANAN KHAS ACEH
Kuah Pliek U
Kuah Pliek 'U adalah makan aceh yang sangat populer dengan campuran berbagai rasa dan kaya akan vitamin serta zat-zat yang bisa meningkatkan gairah dan kekebalan tubuh.
Selain itu juga Kuah Pliek 'U juga merupakan makanan yang melambangkan kekerabatan dan keanekaragaman dalam masyarakat Aceh yang dapat disatukan dalam satu kuali, sehingga mengasilkan rasa yang unik dan digemari oleh seluruh masyarakat di luruh dunia. kuah Pliek 'U juga merupakan media memperkenalkan hasil alam Aceh yang begitu kaya akan jenis sayurnya sehingga dengan menyantap kuah Piek 'U berarti kita telah menyantap seluruh sayuran yang ada di Aceh. Masakan ini wajib dimakan, karena pergi ke Aceh tanpa makan Kuah Pliek 'U, sama seperti belum pergi ke Aceh. Masakan ini sangat mudah didapatkan, 90% rumah makan di Aceh pasti menyediakan Kuah Pliek 'U.
CIRI KHAS ACEH
Seukat Dan Rapai, Identitas Masyarakat Nagan Raya
Nagan Raya – Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Sepertinya kalimat tersebut memang tepat untuk menunjukkan identitas suatu tempat dengan ciri khas dan karakter masing-masing, baik dari aspek adat, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Seperti halnya dengan mayoritas masyarakat kabupaten Nagan Raya setiap menyelenggarakan hajatan sunat maupun perkawinan tidak lengkap rasanya bila tidak dimeriahkan dengan seni lokal Seukat dan Rapai yang sudah diminati sejak puluhan tahun lalu.
Seukat, sebuah seni tari adat lokal yang dimainkan oleh sekelompok gadis-gadis setempat dengan pakaian khas Aceh ala Cut Nyak Dhien. Biasanya, seni tari lokal ini dimainkan oleh lebih dari tujuh orang dengan posisi duduk sejajar dan dipandu oleh seorang pelantun lagu atau disebut Syech.
Dalam memainkan Seukat, lantunan lagu Syech menjadi pengiring sekaligus menjadi pengatur gerakan tim Seukat dalam mengekspresikan seluruh gerakan selama di atas penggung yang ditonton masyarakat.
Selain seni Seukat, duet seni lain yang juga dipentaskan dalam satu malam secara bergantian ada pula Rapai, karena sepertinya tidak lengkap pentas seni tradisional rakyat di Nagan Raya jika kedua seni tersebut tidak dipentaskan berbarengan.
Tak jauh berbeda dengan seni tari Seukat, Rapai juga dimainkan oleh satu tim dengan jumlah personil lebih dari lima orang dengan pakaian seragam khas pemain Rapai. Selain Rapai, dalam seni Rapai juga dilantunkan lagu-lagu sebagai pengiring dalam menabuh Rapai.
Untuk pementasan, kedua seni tari tradisional ini dipentaskan selepas Isya. Secara terus menerus seni tari ini dipentaskan hingga menjelang Subuh, keduanya mengambil waktu bergantian, namun kedua lagunya biasanya saling ada keterkaitan.
Bagi masyarakat gampong setempat yang menyelenggarakan pentas seni tersebut maupun gampong sekitar, mulai dari orang tua, muda-mudi, anak-anak berhamburan keluar untuk menyaksikan seni tari tradisional rakyat tersebut, ada juga yang hanya sekedar nongkrong untuk mengisi malam.
Selain itu, bagi masyarakat, kedua pentas seni tersebut menjadi simbol sekaligus pengikat masyarakat dalam kehidupan sosial mereka. Dari beberapa penuturan masyarakat yang dituakan, seni tari ini sudah dimainkan sejak puluhan tahun lalu, dan secara turun temurun terus dipelihara agar tetap hidup dalam masyarakat Nagan Raya.
Namun beberapa tahun belakangan ini, patut disayangkan kedua pentas seni tersebut sepertinya mulai kurang diminati karena pengaruh seni modern yang tidak mengakar pada kearifan lokal, sehingga secara perlahan seni tradisional terkikis dan terancam hilang dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh, untuk seni tari Seukat sampai saat ini masih mengandalkan gadis-gadis setempat dalam memainkannya, sementara untuk Rapai harus didatangkan dari kabupaten tetangga Aceh Barat Daya, dan ini butuh perhatian serius masyarakat dan pemerintah setempat untuk menjamin kelangsungan satu seni tari yang masih tersisa.
Seperti halnya dengan mayoritas masyarakat kabupaten Nagan Raya setiap menyelenggarakan hajatan sunat maupun perkawinan tidak lengkap rasanya bila tidak dimeriahkan dengan seni lokal Seukat dan Rapai yang sudah diminati sejak puluhan tahun lalu.
Seukat, sebuah seni tari adat lokal yang dimainkan oleh sekelompok gadis-gadis setempat dengan pakaian khas Aceh ala Cut Nyak Dhien. Biasanya, seni tari lokal ini dimainkan oleh lebih dari tujuh orang dengan posisi duduk sejajar dan dipandu oleh seorang pelantun lagu atau disebut Syech.
Dalam memainkan Seukat, lantunan lagu Syech menjadi pengiring sekaligus menjadi pengatur gerakan tim Seukat dalam mengekspresikan seluruh gerakan selama di atas penggung yang ditonton masyarakat.
Selain seni Seukat, duet seni lain yang juga dipentaskan dalam satu malam secara bergantian ada pula Rapai, karena sepertinya tidak lengkap pentas seni tradisional rakyat di Nagan Raya jika kedua seni tersebut tidak dipentaskan berbarengan.
Tak jauh berbeda dengan seni tari Seukat, Rapai juga dimainkan oleh satu tim dengan jumlah personil lebih dari lima orang dengan pakaian seragam khas pemain Rapai. Selain Rapai, dalam seni Rapai juga dilantunkan lagu-lagu sebagai pengiring dalam menabuh Rapai.
Untuk pementasan, kedua seni tari tradisional ini dipentaskan selepas Isya. Secara terus menerus seni tari ini dipentaskan hingga menjelang Subuh, keduanya mengambil waktu bergantian, namun kedua lagunya biasanya saling ada keterkaitan.
Bagi masyarakat gampong setempat yang menyelenggarakan pentas seni tersebut maupun gampong sekitar, mulai dari orang tua, muda-mudi, anak-anak berhamburan keluar untuk menyaksikan seni tari tradisional rakyat tersebut, ada juga yang hanya sekedar nongkrong untuk mengisi malam.
Selain itu, bagi masyarakat, kedua pentas seni tersebut menjadi simbol sekaligus pengikat masyarakat dalam kehidupan sosial mereka. Dari beberapa penuturan masyarakat yang dituakan, seni tari ini sudah dimainkan sejak puluhan tahun lalu, dan secara turun temurun terus dipelihara agar tetap hidup dalam masyarakat Nagan Raya.
Namun beberapa tahun belakangan ini, patut disayangkan kedua pentas seni tersebut sepertinya mulai kurang diminati karena pengaruh seni modern yang tidak mengakar pada kearifan lokal, sehingga secara perlahan seni tradisional terkikis dan terancam hilang dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh, untuk seni tari Seukat sampai saat ini masih mengandalkan gadis-gadis setempat dalam memainkannya, sementara untuk Rapai harus didatangkan dari kabupaten tetangga Aceh Barat Daya, dan ini butuh perhatian serius masyarakat dan pemerintah setempat untuk menjamin kelangsungan satu seni tari yang masih tersisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar